Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semuanya itu berfikir dikatakan berfilsafat. Berpikir nonfilsafati dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Berfikir tradisional
Berfikir tradisional, yaitu berfikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berfikir ilmiah. Artinya berfikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama.
- Berfikir ilmiah
Berfikir ilmiah yaitu berfikir yang memakai dasar-dasar / aturan-aturan pemikiran ilmiah, yang diantaranya: a). Metodis, b). Sistematis, c). Obyektif, dan d). Umum.
Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berfikir secara filsafat, seperti yang diungkapkan dalam buku metodologi penelitian filsafat, antara lain adalah:
a. Metodis, menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan oleh para filsuf dalam proses berfikir filsafati.
b. Sistematis, dalam berfikir, masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pemikiran yang filosofis.
c. Koheren, dalam berfikir unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain namun juga memuat uraian yang logis.
d. Rasional, harus mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis).
e. Komprehensif, berfikir secara menyeluruh, artinya melihat objek tidak hanya dari satu sisi / sudut pandang, melainkan secara multidimensional. Disinilah perlunya filsafat dan ilmu pengtahuan saling menyapa dan menjenguk.
f. Radikal, berfikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya, esensinya.
g. Universal, muatan kebenarannya sampai tingkat umum universal, mengarah pada pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan realitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
Bagaimana karakteristik berfikir secara filsafat?
Dan menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu menyeluruh, mendasaar, dan spekulatif.hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat, yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematik.
Menurut Alkhawaritzmi (2009), ada tiga macam karakteristik berfikir secara filsafat, antara lain:
a. Menyeluruh, Artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu.. pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan-hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, hubungan ilmu dengan moral, seni dan tujuan hidup.
b. Mendasar, Artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamentalis atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai ke kedalamannya.
c. Spekulatif, Artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikiran selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayaha pengetahuan nyang baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai keselesaian.
Selain mempunyai ciri diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5 prinsip penting dalam berfilsafat, yaitu :
a. Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri (congkak).
b. Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap kebenaran.
c. Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam mencari jawabannya.
d. Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap intelektual secara tertulis maupun lisan.
e. Bersikap terbuka.
Beberapa Metode Berfikir Filsafat
Para filsuf dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir filsafati, dalam proses mencari kebenaran. Mereka mampu menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk menngungkap misteri kehidupan manusia. Bahkan tidak hanya manusia yang menjadi objek pemikiran, tetapi meliputi segala yang ada dan mungkin ada. (tuhan, alam semesta, manusia). Pola pemikiran dalam metode berfikir (berfilsafat) berawal dari titik pangkal dan dasar kepastian, seperti logika konsepsional dan intuisi, seperti penalaran (induktif) dan penalaran (deduktif).
Beberapa metode berfikir (berfilsafat) yang telah dirumuskan oleh Dr. Anton Bakker dalam buku yang berjudul metode-metode filsafat antara lain dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode Intuitif (Plotinus dan Henri Bergson)
2. Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)
3. Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)
4. Metode Eksperimental (David Hume)
5. Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)
6. Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)
7. Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang lebih di banding dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Misalnya perbedaan manusia dengan hewan, manusia diberi anugerah berupa akal pikiran yang bisa digunakan untuk bernalar, sedangkan hewan tidak dianugerahi akal pikiran. Hal itulah yang mengakibatkan derajat manusia lebih tinggi dibanding dengan makhluk yang lain.
Kemampuan bernalar pada manusia menyebabkan manusia mampu mengembangakan ilmu pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-Nya. Sedangkan karena binatang tidak memiliki nalar, maka binatang tidak bisa mengembangkan pengetahuannya, hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival). Karena setiap orang diberi anugerah berupa kemampuan untuk bernalar, maka sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk berfikir secara filsafati. Hanya saja yang membedakan orang yang satu dengan yang lain adalah apakah orang itu berusaha melakukan kegaiatan berfikir dengan mengunakan penalaran atau tidak. Misalnya saja orang gila, maka dia tidak bisa menggunakan akalnya untuk berfikir secara nalar.
Contoh lain yang sangat sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Yang kedua, misalnya setelah bunga mawar tersebut dicermati ternyata warnanya sangat unik, dan bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang biasanya. Hal tersebut akan menjadi karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan hanya akan bisa dijelaskan oleh ahli botani/tanaman. Ketika kita mengamati dan timbul pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita, maka berarti kita telah menggunakan penalaran kita.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Adapun ciri-ciri penalaran :
a. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Maksudnya penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam artian kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau logika tertentu.
b. Bersifat analitik dari proses berpikirnya. Artinya penalaran merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan analitik. Atau dapat disimpulkan cara berpikir yang tidak termasuk penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik.
Aristoteles menegaskan bahwa “setiap orang menurut kodratnya memiliki hasrat ingin tahu” (Melia, 2010). Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Cara itu disebut logika. Oleh karena itu berfikir filsafati dapat dialakukan oleh manusia dengan cara menggunakan logika. Menurut saya, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Logika digunakan untuk menarik suatu kesimpulan dari suatu analisis dengan benar. Logika juga menjadi sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu.
Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales (Haris, 2012), air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:
a. Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
b. Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
c. Air jugalah uap
d. Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Sejak saat Thales mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Selanjutnya muncul tokoh-tokoh logika modern, kemudian logika berkembang terus menerus hingga sekarang.
Metode yang ditempuh agar bisa berfikir secara logis atau berfikir dengan menggunakan logika adalah dengan dengan cara melakukan anlisa dan sintesa. Analisa merupakan kegiatan untuk merinci atau memeriksa sesuatu. Dalam kegiatan analisa ini ada dua hal yang bisa ditmpuh, yaitu: (1) menguji istilah dari segi penggunaannya, bisa denganmelakukan pengamatan terhadap contoh-contoh penerapan istilah yang dimaksud. Dalam hal ini seseorang memahami suatu kata atau istilah secara ekstensif. Misalnya seseorang ingin memahami kata atau istilah “keberanian”. Dari segi ekstensi, dia mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana kata ini digunakan, sejauh mana kata “keberanian” menggambarkan realitas tertentu, bagaimana “keberanian” dikomparasikan dengan sifat atau trait lainnya dari “yang ada”, dan sebagainya. Untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah, orang tersebut juga bisa melakukannya dengan mendefinisikan kata atau istilah itu secara langsung. (2) menyingkapkan makna kata dengan menganalisa sifat-sifat kata atau istilah tersebut.
Sedangkan sintesa merupakan lawan dari analisa. Sintesa ialah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan baru. Dengan metode sintesa ini akan memungkinkan seorang untuk mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh sehingga dapat menyusun suatu pandangan baru terhadap hal-hal yang diamati.
Daftar Pustaka :
Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 52.
Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor, Tarmizi.—ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.
Alkhawaritzmi.(2009). Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.
Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.
Post a Comment
Post a Comment