Pemikiran Esensialisme dalam Pendidikan
Menurut aliran essensialisme,
dalam Redja Mudyaharjo (2010: 160) mengemukakan bahwa “Nilai-nilai yang
terpandang sebagai warisan budaya/sosial terbentuk secara
berangsur-angsur melalui kerja keras dan bersusah payah selama beratus-ratus
tahun dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita dalam keluhuran
waktu” Artinya liran ini memandang mengenai nilai-nilai yang luhur yang
merupakan warisan dari budaya terdahulu, serta nilai-nilai tersebut harus
dipertahankan sebab telah teruji keluhuran/kebai niliakannya. Memang dalam
kehidupan nilai-nilai warisan budaya terdahulu tidak serta merta dihapus semua
karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman saat ini, namun ada
nilai-nilai dari warisan budaya yang harus dipertahankan sebab hal itu juga
termasuk kebanggaan dalam masyarakat tersebut dan menjadi identitas bagi
suatu masyarakat, bahka menjadi suatu kearifan lokal. Hal tersebit didukung
oleh alirabn filsafat pendidikan essensialisme yang beranggapan bahwa manusia
perlu kembali kepada kebudayaan lama, hal ini karena kebudayaan lama itu telah
banyak membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk manusia (Muhmidayeli, 2011: 167),
jadi filsafatpendidikan esensialisme ini menekankan bahwa pendidikan perlu
dibangun dengan nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil. Dengan hal ini arus
globalisasi yang kuat diharapkan manusia indoenesia tidak kehilangan jati
dirinya sebagai manusia Indonesia yang benar-benar mencintai budayanya.
Landasan Filosofis Esensialisme
Aliran ini mamandang bahwa
manusia selalu bergerak dan berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
natural yang bersifat universal. Hukum universalah yang mengatur keseleruhan
makrokosmos yang meliputi benda-benda, energi, ruang dan waktu bahkan pikiran
manusia (Muhmidayeli, 2011: 168). Artinya manusia diapandang baik jika mematuhi
nilai-nilai/ hukum tersebut. pemikian tersebut dipengaruhi oleh filsafat
idealism. Kemudian esensialisme yang juga memandang bahwa manusia
memperoleh ilmu pengetahuan karena menggunakan pancaindranya dalam menanggapi
realitas yang ada. Manusia menggunakan pancaindranya dalam memperoleh pemahaman
pada keadaan lingkungannya, atau berinteraksi dengan lingkungan sehingga
terbangun pemahamannya mengenai lingkungan sekitarnya. Dengan pemahannya
tersebut manusia dapat membangun pengentahuan-pengetahuan sehingga timbul ide
baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkuangannya. Jadi aliran
essensialisme I berpendapat bahwa sumber pengetahuan terletak pada kesedaran
jiwa terhadap alam semest dan menggunakan kemampuan indrawinya dalam memahami
lingkungan serta mengolah informasi-informasi yang didapat melalui kemampuan
Indrawinya.
Aliran ini juga memandang
menganai hakikat manusia tentang makna pendidikan, yaitu anak/pesertadidik
harus mengugunakan kebebasannya, dan ia memrlukan disiplin orang
dewasa/pendidik untuk membantu dirinya dalam sebelum dirinya dapat
mendisiplinkan dirinya (Redja Mudyahardjo, 2010: 162). Artinya seorang peserta
didik membutuh bantuan dari pendidik agar hidupnya lebih terarah dan
teratur, sebab peserta didikjuga termasuk mahluk sosial, dan semau manusia pada
hakekatnya adalah mahluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Maka dalam
hal ini diperlukan pendidik yang berkompetensi dalam hal tersebut agar anak
didiknya benar-benar mampu mengoptimalkan potensi dirinya dan mengarah dirinya
ke tatanan hidup yang baik.
Kemudian dalam (Redja
Mudyahardjo, 2010: 162) generasi muda perlu belajar untuk mengembangkan
dirinnya setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial. Generasi muda meruapakan
pewaris generasi sebelumunya, nasib suatu pradaban juga terlatak pada kualitas
diri generasi mudanya, maka generasi muda memang harus mengoptimalkan potensi
dirinya, tentu mengoptimalkan/mengembangkan disini dalam arti positif.
Mnegembangkan tidak hanya bersifat intelektual belaka, namun juga melibatkan
sikap mental. jadi jika manusia dapat mengelola pikirannya, mental dan sikapnya
ke arah yang lebih baik sehingga hidupnya menjadi bermakna dan tenteram maka
manusia tersebut dianggap sejahtera. Menurut apa yang dipelajari oleh penulis,
makna kesejahteraan sosial tidak dikur oleh kekayaan tatepai penulis memandang
kesejahteraan itu dikukur apa bila manusia dapat mengeloa jiwa dan akalnya
dengan baik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diyakinanya. Sebab belum tentu
orang yang berharta memilki ketenangan hati.
Pandangan Esensialisme Terhadap Pendidikan
Bagi penganut Esensialisme
pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan tersebut telah teuji dalam segala
zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan adalah esensial yang mempu mengemban
hari, kini dan masa depan umat manusia.
1. Tujuan pendidikan
Pendidikan bertujuan
menyampaikan kebudayaan dan sejarah melalui inti pengatahuan yang
telah tehimpun dan bertahan sepanjang waku dan dengan demikian berharga untuk
semua orang. Jadi yang dimaksud disini adalah nilai-nilai budaya pilihan yang
telah teruji dari waktu ke waktu (Redja Mudyahardjo, 2010: 163). Dengan
demkian arah dan tujuan pendidikan menjadi lebih jelas. Sebab aliran ini
merupakan suatu kritik terhadap aliran progresivisme yang memandang pendidikan
yang fleksibel, sehingga bisa saja tidak memilki pondasi yang kua/kukuh serta
arah pendidikan yang belum jelas. Kemudian tujuan pendidikan menurut aliran
esensialisme dikuti oleh keterampilan, sikap, nilai-nilai yang tepat agar
mebentuk unsur pendidikan yang tepat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
nilai-nilai yang diterapkan berupa nilai-nilai pilihan yang telah teruji
kebaikanny.a dari waktu-ke waktu.
2. Metode Pendidikan
Pendidikan berpusat pada pendidik (Redja
Mudyahardjo, 2010: 163), dalam hal ini sebenarnya lebih cocok/tepat pada
pedagogik, tidak semua pendidikan yang terencana cocok menerapkan konsep
pendidikan yang terpusat pada guru. Dalam konsep andragogik pesertadidik
dianggap sebagai pusat belajar. Dalam aliran ini memandang bahwa peserta didik
belum mampu mengeditenfkasikan kebutuhannnya sendiri maka dalam belajar peserta
didik harus dituntun dan diarahkan secara tegas. Kemudian metode utamanya
adalah latihan mental, misalnya pesertadidik diasah dengan diberikan tugas,
diskusi, penguasaan materi (Redja Mudyahardjo, 2010: 163). Dengan ini
peserta didik daharapkan dapat mengumpulkan ilmunya dan mengkontruksi ilmunya
sehingga terbentuk suatu gagasan-gagasan untuk bertahan serta mneyesuaikan diri
di lingkungannya.
3. Kurikulum
Kurikulum di sekolah dasar harus
berntikan pada tiga kemampuan dasar (membaca, menulis, dan berhitung). Aliran
ini menghendaki agar proses pendidikan berjalan efektif dengan memberikan
pelajaran yang pokok (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 11-12). Memberikan pelajaran
yang pokok-pokok maksudnya pelajaran yang diberikan sesuai dengan perkembangan
Ilmu dan peradaban yang ada. Kemudian Redja Mudyaharjo dan Waini Rasyidin dalam
(Dwi Siswoyo dkk, 2011: 12) mengemukakan bahwa aliran esensialisme menerapkan
evaluasi dengan pendekatan penilaian acuan (PAP) dan menganut belajar tuntas.
Belajar disini ditergetkan untuk mencapai standar yang tinggi .
4. Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk
rasional dalam penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang siap
siaga melakukan latihan-latihan intelektif (Redja Mudyahardjo, 2010: 164).
Peserta didik disini merupakan objek dari pendidikan sifatnya menerima apa yang
diajar oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum mampu
mengidentifikasikan dirinya.
5. Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam
mempengaruhi dan mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam proses belajar (Redja
Mudyahardjo, 2010: 164). Pendidik berperan sebagai mediator antara dunia
masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan
agar mampu melaksanakan perannya sebagai pengarah
proses belajar. Adapun secara moral guru haruslah orang berakhlak baik yang
dapat dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam pengawaln nilai-nilai.Dengan
demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan
pada guru, bukan pada peserta didik.
Daftar Pustaka
1. Jalaludin, dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2. Mudyaharjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Post a Comment
Post a Comment