Aliran Empirisme (Environmentalisme)
Aliran Empirisme pertama kali dikemukakan John Locke dalam bukunya “ An Easy Concerning Human Understanding”, yang berpendapat bahwa satu-satunya cara manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman atau penginderaan. Pandangan John Locke ini terinspirasi oleh pemikiran Aristoteles, bahwa manusia identik dengan papan tulis kosong. Manusia tidak mampu merumuskan ide-ide yang melekat pada dirinya.
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulus eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan.
Tokoh perintisnya adalah John Locke (1632-1704), seorang filosof Inggris , yang mengembangkan paham Rasionalisme. Teori ini berpendapat bahwa anak yang lahir ke dunia, ibarat kertas putih yang kosong belum ditulisi atau terkenal dengan Teori “ Tabularasa” (a blank sheet of paper). Istilah Tabulara secara historis artinya meja dilapisi lilin yang digunakan menulis pada masa bangsa Romawi kuno. Teori Tabularasa berpandangan jika manusia lahir merupakan anak yang suci seperti meja lilin (tabularasa). Anak-anak yang lahir dianggap tidak mempunyai bakat dan pembawaan apapun, bagaikan kertas putih yang polos (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 20). “ Some thoughts concerning education”, bahwa manusia lahir dengan jiwa yang masih kosong, dan jiwa ini terisi oleh ide-ide atau pengertian-pengertian karena pengaruh dari luar melalui proses psichologis sensation dan reflection. Sensation ialah pengalaman (empiri) yang ditangkap oleh indera manusia, sedangkan reflection merupakan pengolahan hasil kesan indera, di dalam jiwa manusia (Suwarno, 1985:27).
Pada perkembangannya, anak tersebut sangat tergantung kepada asuhan dan pendidikan dari orang tua atau orang dewasa disekellilingnya. Lebih lanjut, teori empirisme berpendapat bahwa semua anak lahir dalam keadaan sama. Perkembangan anak merupakan hasil belajar dan pengalaman. Seorang anak akan lebih baik dari lainnya karena perbedaan lingkungan yang membesarkannya, memberi bimbingan, kesempatan, dan fasilitas belajar yang memadai akan menjadi anak yang cerdas. Sementara itu, anak yang tinggal pada keluarga yang kurang memberikan bimbingan, kesempatan dan fasilitas kurang memadai, akan berkembang menjadi anak yang kurang cerdas (I.G.K. Wardani & Siti Julaeha, 2008: 622). Menurut hukum empirisme, pengetahuan dan keterampilan manusia dibentuk oleh pengalaman inderawi dan perlakuan yang diterima oleh anak. Anak laksana biji besi yang mencair, sehingga bisa dibentuk seperti apa saja. Ketika anak agak lemah dalam belajar, dapat diberikan pembelajaran tambahan atau remedial, sehingga akhirnya bisa mumpuni seperti yang dikehendaki (Sudarwan Danim, 2010: 51).
Berkenaan dengan kegiatan pembelajaran, Teori Empirisme mengemukakan “ Empat Prinsip Belajar “, yaitu:
Menurut Teori Empirisme, pikiran dan perasaan terbentuk melalui asosiasi. Teori ini berpendapat bahwa antara pikiran dan perasaan, selalu terjadi secara bersama-sama. Kita tidak dapat memikirkan sesuatu tanpa memikirkan yang lainnya. Seseorang akan memikirkan dan merasakan sesuatu dalam kaitannya dengan pengalaman yang telah dimilikinya. Misalnya, seorang anak yang pernah jatuh dari tangga, akan dibayangi rasa takut jika melihat tangga, demikian juga siswa yang kesulitan mempelajari soal-soal matematika, akan gelisah jika mengikuti pelajaran matematika.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru harus menumbuhkan rasa percaya diri siswa agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas.
Menurut Teori Empirisme, mayoritas tingkah laku individu, terbentuk melalui pengulangan. Kebiasaan anak melakukan kegiatan rutin sehari-hari seperti menyikat gigi sesudah makan, dikarenakan orang tuanya selalu memintanya secara berulang-ulang kepada si anak untuk menyikat gigi.
Gambaran di atas sebagai sebuah ilustrasi jika ingin membentuk kemampaun diri siswa, hendaknya guru sering memberikan latihan-latihan kepada siswanya.
Berkenaan dengan proses belajar, Teori Empirisme berpandangan bahwa belajar melalui proses peniruan. Sebagai contoh, seorang anak pandai menirukan iklan dari telivisi. Hal ini sebagai bukti jika anak dapat belajar dengan cara menirukan tindakan atau perkataan orang lain.
Melihat kenyataan tersebut, orang tua dan guru harus menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak didik. Jika guru menghendaki siswa datang ke sekolah tidak terlambat, maka para guru juga harus memberi teladan bahwa mereka datang ke sekolah juga tidak terlambat.
Teori Empirisme berpendapat bahwa individu belajar melalui ganjaran (reward) dan hukuman (punisment). seseorang akan melakukan suatu tindakan yang dapat memberikan penghargaan atau pujian dari orang lain, dan akan menghentikan suatu tindakan apabila individu mendapatkan konsekwensi yang tidak menyenangkan. Sebagai ilustrasi, seorang anak akan selalu datang ke sekolah tepat waktu, karena guru-guru sering memujinya sebaliknya, jika mereka datang terlambat akan mendapat hukuman sebagai konsekwensi atas keterlambatannya.
Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap pendidikan. Aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan (environment), sementara kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan keberhasilan seseorang. Aliran ini percaya, bahwa manusia sebagai makhluk pasif, yang mudah dibentuk atau direkayasa, sehingga lingkungan pendidikan dapat menentukan segalanya (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 21).
Pandangan Aliran Empirisme ini dikritisi berbagai kalangan, karena banyak sekali dalam kenyataan sehari-hari, ditemukan anak yang berhasil dikarenakan memang dirinya mempunyai bakat potensial meskipun lingkungannya kurang mendukung. Keberhasilan anak tersebut, antara lain disebabkan kemauan yang luar biasa, karena menyadari akan kemampuannya. Kesadarannya akan kemampuannya, mendorong dirinya berusaha dan diekspresikan melalui kerja keras dan mencari lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuannya, sehingga anak tersebut berhasil.
Aliran Nativisme
Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak.
Aliran Nativisme berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan faktor keturunan, yaitu faktor-faktor yang telah dibawa anak sejak lahir. Aliran ini menekankan pada kemampuan diri anak, sebaliknya faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan yang diperoleh sejak kelahirannya. Jika kita memperhatikan Aliran Empirisme, maka Aliran Nativisme merupakan paham yang menentang aliran John Locke. Nativisme berasal dari kata ‘nativs” (Bahasa Latin) berarti “ terlahir” atau “pembawan”. Menurut paham ini, dengan tokohnya filsuf dari Jerman, Schopenhauer (1788-1860) berpandangan bahwa anak-anak yang lahir ke dunia, telah memiliki pembawaan atau bakatnya yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing. Pembawaan tersebut ada yang baik dan sebaliknya. Dengan demikian, perkembangan anak tergantung dari pembawaan sejak lahir. Dalam Aliran Nativisme, disimpulkan, keberhasilan anak ditentukan anak itu sendiri (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 23-24). Pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak didik, karena perkembangan manusia ditentukan oleh nativusnya atau pembawaannya (Suwarno, 1985:25). Faktor kodrati diyakini tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan atau alam sekitar, termasuk pendidikan (Sudarmin Danim, 2010: 48).
Aliran ini juga berpandangan, manusia yang jahat akan menjadi jahat, sebaliknya yang baik tetap akan menjadi baik. Aliran Nativisme menekankan kemampuan dalam diri anak, sementara itu faktor lingkungan dan pendidikan, kurang berpengaruh terhadap pendidikan anak. Pembawaan sebagai faktor dominan, dalam pandangan aliran ini. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir sudah dengan pembawaan baik ataupun sebaliknya. Keberhasilan pendidikan ditentukan anak itu sendiri. Manusia yang jahat akan menjadi jahat, yang baik akan menjadi baik dengan sendirinya.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan istilah nativisme dari kata natie yang berarti terlahir. Bagi penganut aliran nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya karena lingkungan tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Meskipun dalam kenyataannya sering kali terjadi, seorang anak secara fisik mirip dengan orang tuanya dan anak juga mewarisi bakat-bakat orang tuanya. Namun pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran nativisme berpandangan bahwaanak tumbuh dan berkembangnya, tidak dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, baik lingkungan sehari-hari maupun lingkungan yang direkayasa oleh orang dewasa, yang dikenal dengan pendidikan. Pendidikan, orang tua dan lingkungan masyarakat tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena anak akan berkembang sesuai dengan pembawaannya, bukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar.
Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme, yang berasal dari bahasa Latin, nature artinya alam. Tokoh pendukung aliran naturalisme adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf Perancis mengucapkan sesuatu yang terkenal yaitu “ Kembalilah ke Alam”. Ia berpandangan bahwa semua anak yang lahir mempunyai pembawaan yang baik dan tidak ada seorangpun anak yang lahir dengan pembawaan buruk. Lingkunganlah yang merubah sifat baik yang dibawa sejak lahir menjadi buruk dan rusak.
Jean Jacques Rousseau juga berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Emile” yang menulis sebagai berikut “ Everything is good as it come from the hand of the author of the nature, everything degenerates in the hand of man” artinya “segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi jelek atau rusak, manakala ia sudah berada di tangan manusia . Aliran ini juga disebut negativisme, sebuah pandangan negatif tentang manusia karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Kekuatan alam yang akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah.
Pemikiran Rousseau ingin menjauhkan anak dari aneka perilaku buruk masyarakat, termasuk guru yang serba tidak orisinil (artificial). Dengan demikian, anak-anak akan memperoleh pendidikan dan pembelajaran secara alamiah. Dengan menyerahkan pendidikan anak ke alamnya, pembawaan anak yang baik tidam berubah menadi rusak akibat intervensi guru dalam proses pendidikan. Pandangan semacam ini disebut nafisme dan fatalisme.
Rousseau berpandangan ekstrim, bahwa kebaikan akan terus diserap setiap anak yang terlahir, secara spontan dan bebas dari rekayasa orang dewasa, sehingga pendidikan atau sekolah tidak perlu diadakan. Ia juga mengusulkan, perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya, kemampuan-kemampuannya dan kecenderungan- kecenderungannya. Pendidikan harus dijauhkan dari anak karena dapat menjauhkan anak dari segala hal yang bersifat artificial (hal-hal yang dibuat-buat).
Gagasan naturalisme ini memang bertolak belakang dengan fenomena yang ada. Naturalisme menolak segala campur tangan pendidikan, namun sampai saat ini pandangan tersebut tidak terbukti karena pendidikan semakin lama dan jaman bertambah maju, semakin diperlukan.
Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi merupakan perpaduan antara teori nativisme dan empirisme. Konvergensi diartikan sebagai titik pertemuan, perkembangan manusia hasil perpaduan kerja sama konvergensi antara faktor bakat dan faktor alam sekitarnya. Aliran Konvergensi dipelopori oleh William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan dari Jeman yang berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, faktor pembawaan maupun faktor lingkungan mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan dan lingkungan, sebagai perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. Teori nativisme dan empirisme mempunyai kekuatan sendiri-sendiri dan kedua teori tersebut mempunyai kebenaran untuk menjelaskan gejala-gejala perkembangan manusia. Kedua teori dipadukan, yang sebelumnya kedua teori tampak bertentangan. Hal inilah yang menjadikan teorinya disebut Konvergensi ( memusat ke titik pertemuan). Menurut teori konvergensi:
pendidikan mungkin untuk dilaksanakan
pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik, untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan (Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo, 2008: 199).
Hasil pendidikan dan pembelajaran, tergantung dari interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Aliran konvergensi ini, pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting atau dominan dalam menentukan tumbuh kembang anak tersebut.
Adanya perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia, seperti strategidisposisional atau konstitusional, strategi phenomenologis atau humanistik, strategi behavioral, strategi psikodinamik atau psikoanalitik, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan belajar mengajar, dimana variasi pendapat telah menyebabkan munculnya berbagai teori belajar dan model mengajar. Variasi pendapat tersebut melahirkan berbagai gagasan tentang belajar mengajar.
Post a Comment
Post a Comment