Pengangguran atau tuna
karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang
mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang
yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya
disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding
dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran
seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya
pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan
masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah
pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran
konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.
Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang
buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu
tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan
dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat
jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per
kapita suatu negara. Di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal
istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya
bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
Pengangguran terjadi disebabkan antara
lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah
pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.
Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari
kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan
hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi
bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif;
peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dan
lain-lain. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13
juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan
tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah
pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur
merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan
sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah
jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35
jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari
mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat
pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan
demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta
orang yang harus segera dituntaskan.
Namun sebagaimana dilansir dalam HarianJogja.com bahwa pengangguran
pada tahun ini tahun 2016 mengalami penurunan angka pengangguran. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia per Februari
2016 berkurang 430.000 orang, dibandingkan dengan bulan yang sama pada 2015.
“Jumlah pengangguran
pada Februari 2016 tercatat 7,02 juta orang, dengan persentase 5,5 persen (dari
total angkatan kerja). Realisasi tersebut, terjadi penurunan 430.000
dibandingkan dengan Februari 2015 yang sebesar 7,45 juta orang dengan
persentase 5,81 persen,” demikian ungkap Kepala BPS, di Jakarta, Rabu
(4/5/2016), seperti diberitakan situs Kemnaker.go.id.
Penurunan angka pengangguran tersebut juga terjadi jika
dibandingkan dengan angka pengangguran pada bulan Agustus 2015. Data
pengangguran per Agustus 2015 sendiri sebesar 7,56 juta orang.
Terkait
permasalahan pengangguran ini semua mata serasa tertuju ke Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) sebagai operator (pemerintah)
penyelesaian soal ketenagakerjaan ini. Untuk menanggulangi masalah penganggur
dan setengah penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan
akan semakin baik di masa mendatang perlu didistribusikan kembali kepada
masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya kesempatan kerja
produktif dan remunerative. Dengan cara ini, redistribusi pendapatan dalam
bentuk seperti pengalihan subsidi BBM tidak perlu lagi dilakukan, atau hanya
bersifat supplemen bilamana keadaan terlalu memaksa.
Kebijakan
itu perlu ditempuh untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar dari
sekadar dampak negatif, seperti yang kita alami sekarang ini. Ketidak-stabilan
peta politik dan keamanan, kemungkinan besar akan semakin parah dan mengganggu
sendi-sendi pembangunan lainnya. Bila hal ini benar-benar terjadi, Indonesia
akan berada pada bibir jurang kehancuran yang sulit dihindarkan. Untuk itu
seluruh komponen bangsa, termasuk instansi-instansi pemerintah yang berkaitan
dengan pengentasan kemiskinan dan ketenaga-kerjaan untuk harus segera
mengkonsolidasikan diri, bersama-sama mengatasi masalah ini. Konsolidasi ini,
mencakup berbagai aspek penting, antara lain: identifikasi dan pemilihan
program, pembiayaan, koordinasi pelaksanaan, pengawasan dan lain-lain. Tanpa
harus mengabaikan core-programe masing-masing instansi atau pihak terkait,
aspek penanggulangan pengangguran harus dijadikan sebagai titik perhatian.
Depnaker tidak mampu mengatasi pengangguran. Yang mampu mengatasinya adalah
semua sektor, pemerintah dan masyarakat sendiri, harus bersama-sama.
Selama ini Depnakertranas sudah menyebarkan informasi dan mendorong ke arah
wira-usaha.
Umumnya negara berkembang, 54-60 persen sektor informal mampu menampung pencari
kerja, sebagai usaha mandiri, kecil-menengah. Yang di dorong itu pencari
kerjanya, baik lewat tenaga kerja pemuda mandiri professional, tenaga kerja
terdidik, lalu masalah pengembangan penerapan teknologi tepat guna, maupun
pola-pola pemberian kredit bank.
Selain
itu, Depnakertrans juga mencoba “menyentil” instansi lain untuk peduli terhadap
masalah pengangguran, supaya juga bisa membuat tolak ukur, membuat gambaran:
berapa sektor kerja dan tenaga kerja yang riil ada. Seperti pertanian, dimana
diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Data-data menunjukkan,
sampai dengan 40 persen, sektor pertanian menyerap tenaga kerja. Kemudian
diikuti sektor kelautan. Untuk itu, departemen pertanian dan kelautan misalnya,
harusnya mampu memperluas kesempatan pekerjaan di sektor mereka sendiri.
Tapi Depnakertrans mengaku, anggaran yang dimiliki sangat terbatas untuk
mendorong kesempatan kerja. Untuk 2002 saja, Depnakertrans hanya mempunyai dana
40-41 milyar rupiah dan dibagikan ke seluruh Indonesia. Programnya mencakup
pelatihan dan upaya-upaya pendorongan ke wira-usaha. Idealnya untuk
penanggulangan penganggur ini, Depnakertrans diberikan dana sekitar 1 trilyun
rupiah agar sampai tenaga kerja sarjana bisa di tampung dan fokuskan pada
pengembangan desa. Karena desa memerlukan ahli, motivator, perencana,
dinamisator masyarakat desa.
Sampai
sekarang Depnakertrans juga belum mempunyai peta potensi wilayah dan
pengangguran sampai ke daerah terkecil, seperti kelurahan dan desa. Daerah
tidak pernah meng-update data yang ada. Bagaimana mungkin Depnaker bisa
menjalankan programnya jika basis data saja tidak punya? Sudah pernah di
mintakan ke Pemda, seperti data penganggur, dimana, latar-belakangnya dan
potensi wilayah yang ada. Tapi tidak pernah ada. Masalahnya, Pemda hanya
mengharapkan PAD, tidak pernah memikirkan bagaimana masyarakatnya makmur,
sejahtera dan berkembang dan tidak menganggur. Dengan otonomi daerah,
pemerintah pusat hanyalah pembuat kebijakan, fasilitator, pendorong dan pemberi
wacana-wacana. Praktek dan rill di lapangan, Pemdalah yang mengurusi semuanya.
Permasalahan pengangguran kemudian memang menjadi begitu pelik,
serta upaya penanggulangannya pun memerlukan strategi penyelesaian yang tepat
sasaran dan mampu diaplikasikan di Negara berkembang seperti Indonesia yang
memiliki berbagai problema bukan saja dari segi ekonominya. Adapun beberapa
penyelesaian untuk pengangguran yaitu sebagai berikut seperti dengan melakukan
peningkatan mobilitas tenaga kerja dan moral,
dengan peningkatan mobilitas tenaga kerja dilakukan dengan memindahkan pekerja
ke kesempatan kerja yang lowong dan melatih ulang keterampilannya sehingga
dapat memenuhi tuntutan kualifikasi di tempat baru. Peningkatan mobilitas modal
dilakukan dengan memindahkan industry (padat karya) ke wilayah yang mengalami
masalah pengangguran parah. Cara ini baik digunakan untuk mengatasi msalah
pengangguran struktural.
Cara lain juga dapat dengan pengelolaan permintaan masyarakat pemerintah
sehingga dapat mengurangi pengangguran siklikal melalui manajemen yang
mengarahkan permintaan-permintaan masyarakat ke barang atau jasa yang tersedia
dalam jumlah yang melimpah. Selain itu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
penyediaan informasi tentang kebutuhan tenaga kerja untuk mengatasi
pengangguran musiman, perlu adanya pemberian informasi yang cepat mengenai
tempat-tempat mana yang sedang memerlukan tenaga kerja. Masalah pengangguran
dapat muncul karena orang tidak tahu perusahaan apa saja yang membuka lowongan
kerja, atau perusahaan seperti apa yang cocok dengan keterampilan yang
dimiliki. Masalah tersebut adalah persoalan informasi. Untuk mengatasi masalah
tersebut, perlu diadakan sistem informasi yang memudahkan orang mencari
pekerjaan yang cocok. Sistem seperti itu antara lain dapat berupa pengumuman
lowongan kerja di kampus dan media massa. Bias juga berupa pengenalan profil
perusahaan di sekolah-sekolah kejuruan, kampus, dan balai latihan kerja.
Melalui pertumbuhan ekonom juga dapat menjadi upaya peretasan
masalah pengangguran. Pertumbuhan ekonomi baik digunakan untuk mengatasi
pengangguran friksional. Dalam situasi normal, pengangguran friksional tidak
mengganggu karena sifatnya hanya sementara. Tingginya tingkat perpindahan kerja
justru menggerakan perusahaan untuk meningkatkan diri (karir dan gaji) tanpa
harus berpindah ke perusahaan lain. Menurut Keynes, pengangguran yang disengaja
terjadi bila orang lebih suka menganggur daripada harus bekerja dengan upah
rendah. Di sejumlah Negara, pemerintah menyediakan tunjangan/santunan bagi para
penganggur. Bila upah kerja rendah maka orang lebih suka menganggur dengan
mendapatkan santunan penganggur. Untuk mengatasi pengangguran jenis ini
diperlukan adanya dorongan-dorongan (penyuluhan) untuk giat bekerja. Pengangguran
tidak disengaja, sebaliknya, terjadi bila pekerja berkeinginan bekerja pada
upah yang berlaku tetapi tidak mendapatkan lowongan pekerjaan. Dalam jangka
panjang masalah tersebut dapat diatasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Upaya lain yang sudah banyak dilakukan kini walaupun belum merata
yakni program pendidikan dan pelatihan kerja.Pengangguran terutama disebabkan
oleh masalah tenaga kerja yang tidak terampil dan ahli. Perusahaan lebih
menyukai calon pegawai yang sudah memiliki keterampilan atau keahlian tertentu.
Masalah tersebut amat relevan di Negara kita, mengingat sejumlah besar
penganggur adalah orang yang belum memiliki keterampilan atau keahlian
tertentu. Selain itu dengan wiraswasta dapat menjadi upaya penyelesaian
pengangguran. Selama orang masih tergantung pada upaya mencari kerja di
perusahaan tertentu, pengangguran akan tetap menjadi masalah pelik. Masalah
menjadi agak terpecahkan apabila muncul keinginan untuk menciptakan lapangan
usaha sendiri atau berwiraswasta yang berhasil. Meskipun wiraswasta pun
memerlukan modal dan pembekalan yang cukup guna terciptanya wiraswasta yang
mapan dan mandiri.
Sumber :
Post a Comment
Post a Comment