Featured Post

Bilangan Live Draw 4 Digit

Bilangan  adalah suatu konsep  matematika  yang digunakan dalam  pencacahan  dan  pengukuran . Simbol ataupun lambang yang digunakan untuk mewakili suatu bilangan disebut sebagai  angka  atau lambang bilangan. Dalam matematika, konsep bilangan selama bertahun-tahun lamanya telah diperluas untuk mel…

KONSTRUKTIVISME DAN PENDIDIKAN


Hakekat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme


            Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:


1.      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.


2.      Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.


3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.


4.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.


5.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.


6.      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).


Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.


C.    Pengaruh Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan


Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :


1.      Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.


2.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.


3.      Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.


4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.


5.      Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.


6.      Guru adalah fasilitator.


Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.


Implementasi Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran


Filsafat konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di sini. Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Kaum behavioristik meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan nilai-nilai yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai.


Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru) dan terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. Dengan melihat perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih jelas untuk dipahami.


Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Peserta didik memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut,  peserta didik bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang peserta didik. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan peserta didik. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses .


Berkaitan dengan pembelajaran matematika, pembelajaran matematika beracuan kontruktivisme adalah pembelajaran yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun pengetahuan matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan dengan informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap melalui adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa membentuk aturan-aturan baru dalam benaknya.


Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan peserta didik yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pembelajar.





Daftar Pustaka:


Suparno, Paul. 2008.FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN. Yogyakarya : Kanisius.




Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter