Kehidupan
masyarakat Citorek yang heterogen, pengaturan dalam konteks kehidupan dan
segala sesuat didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik hukum Adat,
hukum Negara, dan hukum Agama. Dalam praktiknya, hukum-hukum yang dijalankan
oleh masyarakat Citorek terkadang terjadi kesimpangsiuran dan ketidak jelasan
penggunaannya. Semisal dalam hukum waris yang mereka gunakan, apakah murni
menggunakan salah satu hukum seperti hukum adat, hukum agama dan hukum negara.
Sejauh ini yang terjadi adalah ketidak pastian, mereka menggunakan sistem waris
dengan sistem ketiga hukum secara tumpang tindih. Tidak jelas dalam
pelaksanaanya. Apakah yang menjadi landasan dan sistem waris adalah hukum adat,
hukum negara, ataukah hukum agama.
Dalam
peraturan hukum dan pelakunya terkadang tidak bisa dimengerti. Kalangan agama
misalnya ia tidak mengerti benar akan hukum agama dalam pengaturan hak waris
seseorang, atau bahkan mereka paham aturan hukumnya, namun untuk menjalankannya
tidak memiliki integritas dan kesanggupan. Begitu pun dengan hukum adat, boleh
jadi seorang pemuka adat tidak begitu paham dengan hukum adat yang mengatur
masalah hak waris seseorang, sebab hingga kini batasannya tidak pernah jelas
akan masalah hukum adat tersebut. Lain pula dengan hukum Negara, sebagai bagian
dari Hukum Negara Republik Indonesia. Para aparatur negara, terutama Kepala
Desa dan seluruh staf jajarannya sama sekali mereka tidak memiliki pengetahuan
dan pemahaman dalam bidang hukum negara yang berlaku.
Jadi
pada dasarnya semua pihak, baik pihak ulama, pihak adat, pihak pemerintahan
dalam hal ini adalah pihak desa tidak menguasai dan mengenal macam hukum,
maksudnya tidak pernah paham hukum apa sebenarnya yang mereka jadikan acuan
dalam menyelesaikan masalah, semisal masalah waris tadi. Kondisi seperti ini
banyak menyebabkan kebingungan masyarakat yang hendak berurusan dengan hukum.
Dari
kenyataan yang ada mengenai penggunaan sarana hukum yang digunakan oleh
masyarakat hingga kini pada dasarnya lebih banyak menggunakan hukum adat,
walaupun bentuk hukum tersebut belum secara jelas dan lugas dapat didokumentasikan
dalam bentuk tertulis. Jadi dalam hal ini, masyarakat baik yang pro dan kontra
terhadap eksistensi dan keberadaan adat dan segala pengaturannya tidak perlu
menafikannya atau menolak disebut sebagai masyarakat yang menggunakan hukum
adat, jika selama ini telah menggunakan hukum adat dalam kehidupannya
sehari-hari, semisal urusan waris dan sebagainya. Hal ini berdasarkan
pengamatan penulis telah jelas dari berbagai masalah dan kasus hukum baik
perdata maupun pidana yang terjadi di masyarakat Citorek.
Ketiga
sumber hukum yang sampai kini belum jelas fungsinya dalam menyelesaikan segala
bentuk konflik atau perkara dalam masyarakat Citorek dan bahkan belum dapat
tersusun secara tertulis serta belum ada kesepakatan dari tiap pihak untuk
mendokumentasikan serta memberikan penerangan dan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat secara
menyeluruh adalah hukum adat, hukum agama, dan hukum negara.
1. Hukum Agama
Hukum
agama sebagai hukum ilahiah tidak berjalan sesuai fungsinya mengingat kondisi
sebagian masyarakat tidak begitu paham dan memahami duduk perkaranya yang
berkaitan dengan hukum-hukum agama dengan kenyataan hidup masyarakat. Di sisi
lain masih adanya pihak-pihak dari pihak keagamaan yang terkadang dia sendiri
sebagai ulama tidak sanggup untuk menyelesaikan segala permasalahan secara
total dengan menggunakan hukum agama.
Kondisi di atas lebih diperparah
oleh tidak adanya lembaga hukum yang secara khusus jelas mengakomodir berbagai
problematika umat Islam. Lembaga hukum Agama yang berjalan dan mampu serta ada di seluruh pelosok tanah
air, termasuk di Citorek baru terbatas pada Lembaga Pernikahan, yakni KUA.
Namun lembaga ini tidak difokuskan pada penanganan masalah atau kasus lain dari
segi hukum agama.
2. Hukum Adat
Pada
kenyataanya hukum Adat merupakan hukum yang paling banyak digunakan dan
dijadikan dasar dalam segala permasalahan yang terjadi di masyarakat di desa
citorek. Hukum Adat ini justru digunakan oleh semua pihak baik kalangan Adat
itu sendiri maupun sebagian kalangan Pemerintah Desa dan kalangan Agama.
Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Citorek adalah adanya campur baurnya tiga
bentuk hukum, yakni hukum nasional, hukum agama dan hukum adat seperti yang
telah dibahas di muka. Kondisi yang paling urgen adalah masyarakat Citorek dalam
menghadapi segala permasalahan hukum sering mengalami kebingungan dan ketidak
pastian. Hukum mana yang akan digunakan. Apakah hukum adat, hukum agama,
ataukah hukum nasional. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri pada
masyarakat Citorek.
Sisi
lain pihak pemerintah sebagai pejabat berwenang secara birokrasi belum mampu
memberikan alternatif dan pilihan hukum bagi masyarakat dalam sebuah kasus. Hal
ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, Hukum Adat, pihak adat belum
mengatur pihak dan perangkat dalam bentuk lembaga yang secara khusus fokus
perhatian dan kinerjanya pada masalah-masalah yang terjadi. Lebih jauhnya
aturan adat belum di bentuk dalam sebuah tulisan. Sanksi terhadap si pelaku
pelanggar norma belum teraktualisasikan dalam bentuk tulisan. Kedua, Hukum
Agama, tidak dan belum berjalannya lembaga hukum nasional atau negara yang
berfokus pada penanganan segala kasus hukum berdasarkan pertauran hukum
agama.Hal ini tidak terlepas dari masalah-masalah secara nasional dapat kita
lihat. Bahwa, di negara kita belum ada lembaga hukum yang berlebel agama. Sisi lain adalah sumber daya manusia,
terutama di Citorek yang belum begitu memahami alur-alur hukum yang digunakan.
Ketiga, Hukum nasional, untuk hukum nasional bermuara pada lemahnya sumber daya
pemerintahan dalam mengani segala permsalahan di masyarakat Citorek. Selain
masalah yang lebih universal kaitannya dengan hukum negara, kondisi dan suber
daya masnusia sebagai pelaku pemerintahan desa rendah dan minim pengalama serta
pendidikan.
Masyarakat Citorek yang terkait dengan hukum
atau mengahadapi kasus hukum selalu membawa alur fikirannya sendiri. Akibatnya
ketiga bentuk hukum selalu digunakan untuk dapat memenangkan perkaranya secara
hukum. hal ini semata-mata karena belum adanya alternatif pilihan hukum dalam
membawa masalah di muka hukum.
3. Hukum Negara
Penyebab
yang paling utama tidak berfungsinya hukum negara secara maksimal adalah pihak
Penyelenggaran Desa yang masih awam akan hukum negara. Termasuk faktor
pendidikan dan pengalaman yang menjadi tersendatnya pelaksanaan hukum di
masyarakat, selain itupula faktor sosialisasi amat lemah.
Terjadinya
kesimpang siuran hukum yang digunakan oleh masyarakat yang ditangani langsung
oleh pemerintahan desa, lebih diakibatkan oleh lemahnya sumber daya manusia
dalam perangkat desa. Bisa dilihat dari kurangnya angka pendidikan sarjana yang
ada di kasepuhan ini. Walaupun angka presentasi kenaikan lulusan sarjana
semakin meningkat. Sampai saat ini desa belum mampu menyediakan alternatif
pilihan hukum yang dimaksud di atas pada masyarakatnya. Padahal dalam
kenyataannya, ketiga bentuk hukum yakni, hukum agama, nasional dan hukum adat
selalu digunakan oleh masyarakat Citorek.
Semua pihak diatas, yakni pihak
Pemerintah Desa, Pihak Tokoh Agama dan Masyarakat, serta Pihak Adat perlu duduk
bersama untuk menyikapi masalah-masalah yang terkait dengan peristiwa
hukum-hukum yang terjadi di masyarakat. Semua pihak harus memberikan acuan yang
jelas dalam penjalanan dan pemberlakuan hukum bagi masyarakat. Apalagi jika menilik
hukum agama, tentu Hukum ini tidak pernah ada keraguan bagi kita semua. Hukum
agamalah yang semestinya menjadi landasan bagi kehidupan kita.
Post a Comment
Post a Comment